- Artikel Hari Pendidikan – Hari
pendidikan nasional
adalah hari dari jati diri bangsa dimana hari pendidikan bisa menggambarkan
atau ruh dari bangsa kita, bangsa yang besar adalah bangsa yang peduli
akan pendidikan, dan pendidikan adalah modal awal dari perkembangkan
bangsa.
A. Latar belakang
Long Life Education, kalimat yang
telah kita kenal sejak dulu sampai saat ini, apalagi bagi pemerhati pendidikan.
Pendidikan sepanjang hayat, itulah arti bebas dari kalimat tersebut. Pentingnya
pendidikan dalam hidup dan kehidupan manusia telah menjadikannya salah satu
kebutuhan pokok manusia. Manusia yang tak mempunyai pendidikan bagaikan makhluk
yang raganya saja seperti manusia yang sudah meninggal (tidak berguna).
Beberapa ajaran agama juga mewajibkan manusia untuk mengenyam pendidikan
setinggi-tingginya, bahkan dikatakan oleh nabi SAW “tuntutlah ilmu mulai dari
ayunan sampai ke liang lahat.” dan juga “tuntulah ilmu walaupun sampai ke
negeri cina” Lebih dari itu, kini telah dipercaya bahwa bayi dalam kandungan
ibunya mampu untuk berinteraksi dengan alunan suara syahdu di luar kandungan.
Kita tidak boleh lupa bahwa
pendidikan bukan hanya kejadian sekali saja bagi seseorang yang berusia dibawah
18 tahun. Konsensus baru harus didasarkan pada akses yang luas terhadap pendidikan
tinggi dan peluang berkesinambungan bagi setiap orang dewasa untuk belajar
sepanjang hayat (Mantan P.M . Tony Blair, dikutib dari Nicholl;14- 2002)
Pentingnya pendidikan tidak hanya
untuk disuarakan dan disyiarkan melalui kalimat dan jargon, namun perlu langkah
nyata dalam kehidupan kita. Realisasi keberadaan anasir-anasir pendukung
terhadap tercapainya suatu tuntutan terhadap pentingnya pendidikan harus segera
dilakukan. Kebijakan-kebijakan dalam sistem pendidikan harus memenuhi unsur
aktualitas dan berdaya guna. Konsep pendidikan sepanjang hayat menjadi panduan
dalam meninggikan harkat dan martabat manusia dengan pendidikan, termasuk
manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini tak boleh tertinggal dengan bangsa
lainnya di dunia, oleh karena itu pendidikan sejak dini harus ditanamkan kepada
mereka.
Tujuan terpenting pendidikan adalah
belajar bagaimana belajar (Luis Alberto Machado, Ph.D dikutib dari Nicholl;35-
2002)
Dalam kontek keindonesiaan dimana
pendidikan di Indonesia pernah mencapai masa keemasan dimasa kerajaan
Sriwijaya, kerajaan Mojopahit dimana pada masa tersebut menjadi pusat
pendidikan Hindu-Budha, di Zaman kerjaaan Samudera Pasai menjadi pusat
pendidikan islam nusantara, bukan kah ini sebuah kebanggaan bagi bangsa yang
pernah menjadi pusat budaya yang memanusiakan manusia sebagai akibat dari
tingginya ilmu pengetahuan pada masanya.
Pada masa prakemerdekaan Ki Hajar
Dewanatara ingin mengembalikan pendidikan yang menjadi satu-satunya cara agar
Indonesia meraih kemerdekaannya, sehingga bangsa ini tidak dijajah oleh pihak
manapun yang ingin meraih keuntungan dibalik kebodohan bangsa. RM. Suwardi
Suryaningrat rela melepas status kebangsawananya menjadi Ki Hajar Dewantara
agar lebih merakyat dan sukses merubah kehidupan berbangsanya dalam waktu cukup
singkat kurang lebih 23 tahun (1922-1945), kalau kita masih ingat perjuangan Ki
Hajar hampir sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW yang selama 23 tahun
berhasil merubah kehidupan bangsa arab dari kejahiliyahan ke bangsa yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Islam).
Ki Hajar Dewantara yang dikenal
sebagai bapak pendidikan nasional sekaligus pendiri perguruan Tamansiswa ini
pada tanggal 3 juli 1922, telah melakukan terobosan baru dalam perjuangan
berbangsa dan bernegara yang sebenarnya jauh dari apa yang seharusnya dilakukan
oleh banyak orang pada umumnya pada saat itu, beliau telah menanamkan jiwa
merdeka dan membangkitkan jiwa nasionalisme pada setiap warga bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, apapun yang dilakukan oleh suatu bangsa, termasuk di dalamnya
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, hendaknyalah bermuara
pada upaya menanamkan jiwa merdeka dan nasionalisme dalam berbangsa dan
bernegara. Merupakan suatu hal yang mustahil, apabila kita berupaya merengkuh
kemerdekaan yang hakiki, namun didalam diri kita tidak terdapat jiwa merdeka
dan nasionalisme yang tinggi. Dan terbukti pada tanggal 28 Oktober 1928
lahirlah “sumpah pemuda” 6 tahun setelah berdirinya Tamansiswa, para pemuda
bersatu untuk meraih kemerdekaan dengan perjuangan baru yang menyatukan
perbedaan dengan satu tujuan “Kemerdekaan” dan diraihlah kemerdekaan itu
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ki Hajar Dewantara dengan
Tamansiswanya telah menyerukan bangsa Indonesia kembali kepada kepribadian
nasionalnya. Supaya bangsa Indonesia menempuh jalan kehidupan menurut garis
hidupnya. Kembali kepada kepribadian nasionalnya berarti kembali kepada
garis hidupnya, menurut kodrat alamnya. Dengan jalan nasional orang akan lebih
cepat maju dari pada hanya menjadi peniru hidup orang asing yang melambatkan
kemajuan itu. Dengan berani dan mau menerima alat dan teknik dari orang dan
bangsa lain, dengan cara dan jiwa kepribadian sendiri, suatu bangsa akan lebih
cepat maju.
- B. Tujuan
Diharapkan makalah ini bisa memberi
pengetahuan dan informasi baru tentang bagaimana pendidikan yang seharusnya
diterapkan di Indonesia.
- C. Pembahasan
Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (national-culture) dan
ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri
dan rakyatnya, sehingga mempunyai kedudukan dan pantas bekerja sama dengan
negeri lain, demi tercapainya kemuliaan manusia diseluruh dunia.
Pendidikan di sekolah/kampus
merupakan salah satu upaya menanamkan jiwa merdeka , disamping pendidikan
pendidikan keluarga dan pendidikan dalam lingkungan pergaulan (masyarakat).
Untuk mampu menanamkan jiwa merdeka, maka aspek-aspek kemanusiaan peserta didik
hendaknyalah digarap sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mencapai keserasian,
keseimbangan dan keselarasan (harmoni) antara pengembangan aspek jasmani dan
rohani, dimana dalam aspek rohani terkandung didalamnya kemampuan cipta, rasa
dan karsa. Dengan demikian, maka intelektualisme akademik yang semata-mata
memacu kemampuan kognitif adalah mengingkari tujuan terbentuknya jiwa merdeka.
Menurut Sudarto (2008;71) dengan
trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar dalam pendidikan Tamansiswa yang
berbunyi “ Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani”.
Dalam trilogi pendidikan tersebut,
seorang guru harus mempunyai perilaku konsisten dan konsekuen, jujur , adil,
bertanggung jawab, bersatunya kata dan perbuatan (menjadi teladan), bersedia
berada paling depan pada saat menghadapi kesulitan dan berada paling belakang
(menikmati paling akhir) ketika menghadapi kesenangan sehingga dapat memberi
pengaruh baik kepada anak didiknya. Guru harus mampu membangkitkan
motivasi (memberdayakan) sekaligus pandai “mengemong”,serta memberikan
ketentraman lahir dan batin bagi anak didiknya.
Nilai-nilai budaya luhur Indonesia
yang telah ditarapkan di Tamansiswa haruslah (menasional) menjadi ciri khas
pendidikan Indonesia bukan sebatas komersialisasi pendidikan yang terjadi
selama ini yang banyak di pengaruhi oleh politik kekuasaan. Kalau pendidikan
sudah masuk dalam dunia politik kekuasaan maka tunggulah masa kehancuran
pendidikan. Dalam hal pendidikan kebudayaan ditamansiswa ada Trikon
(kontinuita, konvergensi dan konsentrisita) yang seharusnya lebih menasional
sehingga hasil didikan di sekolah/kampus menghasil intelektual yang punya jiwa
merdeka dan nasionalis serta berdaya dan berbudaya.
Pendidikan harus diperbaharui
(Charles Handy dikutib dari Nicholl;16- 2002)
Melalui sistem among,
Tamansiswa meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak
hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat dimana pengajaran bagi
Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya,
merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru/ pamong jangan hanya memberi pengetahuan
yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik anak/murid agar dapat
mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum.
Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan
batin dalam hidup bersama. Seperti yang pernah di ungkapkan oleh Ki Hajar
“Manusia jangan kalah sama cecak, walaupun cecak tak pernah sekolah, toh tidak
pernah jadi penganggur”
Hal ini berarti bahwa setiap orang
perlu mengembangkan keterampilan yang menjadikan dirinya benar-benar siap dan
dapat bekerja menjadi orang-orang ‘MERDEKA’ (yang tidak tergantung pada orang
lain) secara ekonomi. Menjadi ‘PENGUASA’ keadaan dan lingkungan, bukannya
menjadi korban keadaan dan lingkungan. Menguasai perubahan ketimbang
melawannya.
Abad prestasi berada dalam genggaman
kita-tetapi tergantung pada ETIKA Pendidikan (Mantan PM. Tony Blair, dikutib
dari Nicholl;325- 2002)
Sistem pendidikan sekarang yang
dipengaruhi oleh kekuasan politik membuat pendidikan Indonesia amburadul dan
keluar dari national-cultur dan faham trilogi pendidikan yang menjadi prinsip
dasar pendidikan Tamansiswa dan nasional. Sehingga Ketika sebuah negara seperti
Indonesia sedang terpuruk, hampir semua sepakat untuk menyoroti pendidikan
sebagai salah satu biang keladi utama. Tapi, apakah semua sudah sepakat dan
sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah Pendidikan itu sama seperti
ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang tertentu? Apakah Pendidikan itu
berarti paham pemikiran logika dan sistematis, yang hanya mengandalkan fungsi
otak kiri saja? Apakah pendidikan hanyalah sebuah sarana untuk mendapatkan
Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri sendiri (dan keluarga)
untuk hidup layak?
Di Indonesia, masalah pendidikan
sudah sangat pelik. Memang, komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran
pendidikan minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
sesuai amanat Undang-Undang Dasar, tapi sampainya di daerah tidak demikian
(masih banyak pemotongan), sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai
salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya
biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh
dimakan usia atau korupsi. Adanya dana BOS tidak menjamin semua anak Indonesia
bisa mengenyam pendidikan, hal ini bisa dilihat di desa dan di sudut sudut kota
masih banyak putra-putri Indonesia yang tidak bersekolah. Dari sistem
perekrutan tenaga pengajar (CPNS) yang disisipi sogok menyogok, bukan pada
profesionalitas pengajar dan pengabdian dalam mendidik. Pendidikan yang
disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan
sekedar transfer ilmu pengetahuan semata. Hal ini, terjadi hampir di seluruh
Indonesia. Jadi apakah pendidikan itu? Sistem pendidikan seperti apakah
yang cocok diterapkan di Indonesia ini?
Pendidikan bukanlah (hanya) transfer
of knowledge, ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan
bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada
keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%. Porsi terbesar untuk
mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan
kreativitas dan inovasi. Dan itu telah diterapkan dalam pendidikan Tamansiswa
dengan sistem amongnya dan menjadi prinsip dasar pendidikan di Indonesia.
Seorang manusia yang berpikir dan
mengetahui cara berpikir selalu dapat mengalahkan sepuluh orang yang tidak
berpikir dan tidak mengetahui cara berpikir, (George Bernard Shaw dikutib dari
Nicholl; 53- 2002)
Sayangnya, pola pendidikan yang
dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia akibat
dari pendidikan yang dipolitisir oleh para penguasa. Oleh karena itu,
pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi
manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk bisa membangun
suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi,
tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, bangsa Indonesia
pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi
segala persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak
kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang
murid.
Pendidikan adalah sesuatu yang
tersisa setelah melupakan semua yang telah dipelajari di sekolah. (Albert
Einstien)
Tapi pola pendidikan ideal seperti
ini sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer
of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik
menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri dan peka terhadap apa yang
terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya.
Pendidikan bukanlah indoktrinisasi
pemahaman, Di Indonesia banyak sekali lembaga pendidikan yang didirikan oleh
lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara langsung maupun tidak langsung untuk
menanamkan doktrin-doktrin agama dalam benak anak didik dari usia muda. Hal ini
patut disesalkan karena dikhawatirkan kelak anak-anak tersebut tidak mampu
mengapresiasi keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini. Diperparah
pula oleh timbulnya perda-perda syariat yang seakan melegalisir pemisahan bagi
para siswa di sekolah. Dan, hasilnya adalah konflik antar agama, konflik
horisontal antar kelompok masyarakat hanya karena berbeda dengan dirinya.
Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat keberagaman bagi umat manusia, malah
menjadi kutukan dan penyebab perang di antara umat manusia.
Pendidikan bukanlah hanya untuk
orang kaya saja, Sekolah favorit selalu menjadi incaran orangtua murid untuk
menyekolahkan anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan bersekolah di sekolah
favorit maka kemungkinan besar, sang murid akan mudah mendapatkan pekerjaan
yang layak di masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah kita berpendidikan hanya
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? Bila jawabannya tidak, tapi
kenyataannya bahwa banyak sekolah-sekolah yang menawarkan fasilitas dan kelas
ketrampilan tambahan menjadi sekolah-sekolah favorit walaupun bertarif sangat
mahal. Dan, hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anak-anaknya
di sana karena banyak juga perusahaan yang hanya mau mempekerjakan para lulusan
dari sekolah-sekolah favorit saja. Pola pikiran seperti ini hanya menimbulkan
ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan pendidikan.
Jelas ini bertentangan dengan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila
ke-2 dari Pancasila.
Pendidikan yang diterapkan disekolah
maupun di kampus telah menimbulkan ketidakadilan bagi pelajar itu sendiri
karena kemerdekaannya dalam berpikir dan berkarya selalu di kekang oleh sistem
yang hanya melihat prestasi dari dari satu sisi sedangkan sisi lain diabaikan,
contohnya dalam hal UAN pemerintah hanya mengukur tingkat kelulusan para siswa
dari nilai ujian akhir padahal yang lebih tahu para siswa lulus atau tidak
lulus hanya guru disekolah tersebut yang bersama selama beberapa tahun. Belum
lagi dari sarana dan prasarana harus dilihat, harus membedakan tingkat
daya serap informasi & teknologi serta pergaulan di kota dan pedalaman. .Sebaiknya
UAN itu hanya untuk mengukur tingkat prestasi para siswa secara nasional bukan
mengukur kelulusan.
Sekolah kini tidak lagi menjadi
tempat yang aman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawas, penindas,
merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadikan lembaga yang mematikan bakat dan
gairah anak untuk belajar. (Prof. Kurt Siregar)
Dikampus banyak terjadi permasalahan
yang nota bene mahasiswa adalah tingkat advanced dimana para siswa bisa
menalaah atau menafsirkan dan mengembangkan pemahamannya tentang suatu teori.
Mereka seharusnya lebih ditekankan bagaimana cara mereka belajar bukan pada apa
yang mereka pelajari.
Para pelajar boleh jadi belajar
dalam berbagai cara yang berbeda-tetapi satu hal yang sama-sama mereka miliki
adalah pendekatan aktif terhadap pembelajaran. Mereka tidak pernah duduk dengan
pasif mendengarkan atau membaca. Mereka senantiasa bertanya kepada diri
sendiri, serta selalu melakukan sesuatu untuk meyakinkan diri bahwa mereka
telah mendapatkan fakta-fakta dalam cara yang sesuai dengan pilihan-pilihannya.
Terserah bagaimana cara mereka memastikan diri bahwa mereka sudah memperoleh
informasi dengan cara mereka sendiri yang paling mudah dalam memperoleh dan
mengingatnya.
Melalui tindakan anda menciptakan
pendidikan anda sendiri. (David B. Ellis dikutib dari Nicholl;126- 2002)
Jangan bikin aku berjalan ketika aku
ingin terbang.(Galena Dolva dikutib dari Nicholl;128- 2002)
Sebuah contoh, Sistem pengajaran dan
penilaian para dosen di sebuah universitas dimana banyak penyimpangan dari
prinsip dasar pendidikan. Kepuasan mahasiswa dalam belajar di univesitas
berkurang karena beberapa sebab, antara lain mayoritas cara pengajaran yang
membosankan sehingga hasilnya mahasiswa tidak bisa menjawab soal waktu ujian,
begitu juga dalam penilaian kadangkala menggunakan sistem random sehingga
membuat sebagian mahasiswa menanyakan bagaimanakah cara penilaian dosen itu?
“Kok, seperti ini nilaiku padahal aku yakin jawabanku benar” ada juga kasus
dimana sejumlah mahasiswa sampai mengulang mata kuliah tertentu samapi 2-3 kali
tapi nilainya sama bahkan tambah buruk, padahal mereka mengulang hanya untuk
memperbaiki nilai, bukankah mengulang salah satu bentuk usaha? Dimana cara
dosen menghargai usaha mahasiswanya? Ada kasus lain dimana sejumlah mahasiswa
mengumpulkan tugas mata kuliah tertentu, tapi nilainya juga tidak memuaskan.
Terus mahasiswa tersebut berkata “Kok seperti ini cara menghargai karya
mahasiswa? Padahal aku telah berusaha dengan sebaik mungkin tapi nilainya???
Bukankah ini juga menyangkut nama baik univesitas tersebut didunia kerja
nasional, kalau nilainya tidak meyakinkan untuk masuk dan diseleksi, bagaimana
bisa di terima jadi PNS atau pegawai lainnya? Dan pada akhir lulusan
universitas tersebut menjadi kerdil dan minder dalam menghadapi dunia kerja.
Padahal lulus dan segera mendapatkan kerja merupakan tujuan kami kuliah, kami
datang dari daerah yang jauh untuk memperbaiki daerah dan masa depan kami. Itu
semua merupakan sebuah pertanyaan besar bagi para calon pemimpin ini.
Lebih-lebih pada zaman sekarang ada
pengaruh negatif yang diakibatkan oleh ProgramTelevisi (TV) yang tidak
mendidik. Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif
belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan
menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka
menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good. Celakanya,
program-program TV negara ini dipenuhi hal-hal berbau klenik, perdukunan,
kekerasan, budaya instan, pola hidup konsumtif, dll. Sehingga tidak
mengherankan bila masyarakat kita mudah sekali ditipu oleh sms-sms berhadiah
karena ingin cepat kaya (budaya instan), oleh iklan-iklan yang menimbulkan
keinginan berbelanja barang-barang yang tidak diperlukan (konsumtif), bertikai
dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah dibodohkan oleh cerita-cerita gaib
ilmu perdukunan maupun ramalan.
Maka dari itu perlunya solusi yaitu
mengembalikan sistem pendidikan Indonesia ke aslinya yang berbasis budaya
Indonesia.dimana pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk
mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi
perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia
Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan
manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan
Nasional, “Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin
tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan
sendiri.”
Pendidikan itu bukan suatu pemaksaan. Inilah yang paling menyentuh dan paling relevan dari
pandangan Ki Hajar Dewantara dalam alam demokrasi. Artinya jangan memaksakan
dan mematikan perkembangan alamiah anak didik. Akan tetapi, pendidikan harus
bisa mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada pada anak didik. Oleh sebab
itu, pendidikan dengan pemaksaan harus diganti dengan pendidikan yang bersifat
Among Sistem. Yakni sistem yang memerdekakan pikiran, semangat, dan kreativitas
anak didik. Pada zaman dulu kita melihat guru datang kepada murid untuk mengindoktrinasi.
Jika anak itu tidak menguasai pelajaran, ia mendapat hukuman. Kalau anak itu
bisa menjawab, ia memperoleh hadiah. Sistem seperti ini harus diganti, karena
dinilai tidak mendidik, tidak memerdekakan pikiran, semangat dan kreativitas
serta karya anak didiknya.
Guru wajib mengasuh anak didiknya,
mengasah kodrati secara alamiah. Guru juga wajib mendorong anak didiknya dengan
metode Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarsa sung tuladha, maksudnya bila
seseorang berada di depan diharapkan mampu menjadi teladan atau contoh yang
baik bagi anak didik/ anak buah atau pengikutnya, ing madya mangun karsa,
maksudnya seseorang level menengah diharapkan mampu menuangkan gagasan dan
ide-ide yang baru untuk mendukung program yang sudah diterapkan, tut
wuri handayani, maksudnya jika posisi kita berada dibelakang, diharapkan
ikut mendukung program-program yang sudah ditetapkan, tidak justru menjegal
agar gagal.
Ada beberapa ajaran dari bapak
pendidikan kita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan diantaranya beliau
mengibaratkan bahwa pendidikan laksana sebuah taman (system) dimana ditaman itu
tempat tumbuh kembangnya bunga-bunga (siswa), kita sebagai pendidik hanyalah
tukang kebun. Apabila kita melihat bunga mawar janganlah lihat tangkai dan
durinya tapi lihatlah bunganya, jika kita hanya melihat tangkai dan durinya
maka yang ada hanya “sampah” tapi kalau lihat bunganya maka kita akan merasakan
keindahan dan keharumannya. Ditaman pasti ada bunga yang kurang subur, tugas
kita sebagai tukang kebun hanya merawat, memupuk dan menyiramnya. Tingkat
kesuburan tergantung pada kualitas bibit dan tanahnya, sehingga kita sebagai
tukang kebun merawat agar bunga bunga itu tidak mati, dalam hal ini kesuburan
tanaman menjadi pusat perhatian guru.
Tukang kebun hanya bisa memperbaiki
dan memperindah jenis tanaman dengan usaha-usaha yang mendorong perbaikan
perkembangan jenisnya. Tukang kebun juga tidak bisa memaksa tanaman mempercepat
bunganya agar segera bisa dipanen demi kepentingan mendesak, tapi semua itu
harus diikuti dengan kesabaran. Oleh sebab itu, tukang kebun/taman harus tahu
sifat dan watak serta jenis-jenis tanamannya, sehingga bisa membedakan antara
bunga mawar dan melati. Disamping itu, tukang kebun juga harus paham akan ilmu
mengasuh tanaman agar bisa bercocok tanaman dengan baik, agar yang dihasilkan
adalah tanaman dari tanah yang subur dan bunga yang baik.
Menurut Ki Hajar D, tukang kebun
tidak boleh membedakan dari mana asal; tanaman, pupuk, alat kelengkapan dan
asal ilmu pengetahuan itu. Namun yang harus dimanfaatkan segala yang
menyuburkan tanaman menurut kodrat alamnya (potensinya).
Seperti yang telah di ungkapkan oleh
Luis Alberto, Ph. D bahwa tujuan pendidikan adalah belajar bagaimana
belajar karena ketika seseorang mempelajari cara belajar, kepercyaan dan
keyakinan dirinya meningkat. Ketika seseorang mempelajari cara belajar, mereka
tidak hanya bisa menghadapi teknologi baru dan perubahan, bahkan mereka
menyambut baik kedatangannya. Dia memperoleh kemampuan dasar untuk menjadi
pelajar yang mampu mengatur diri, dan kemampuan dasar untuk meningkatkan
pengembangan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk berubah dari konsumen
pendidikan yang pasif menjadi pengelola pembelajaran dan kehidupan yang aktif
bagi diri sendiri.
Bila sekarang Pendidikan Barat
memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah
Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama
karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19, Pendidikan yang baik akan menempa
seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan
sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa
lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan
sistem pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia
seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah
diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri
Perguruan Taman Siswa.
- D. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa para pendidik sama-sama mempunyai filosofi pendidikan dimana melihat
dengan arif dan bijaksana bahwa:
1)
Para siswa pertama-tama dan terutama harus belajar “belajar bagaimana belajar”
dan belajar bagaimana berpikir.
2)
Belajar harus menyenangkan disamping membangun percaya diri.
3)
Pengetahuan harus disampaikan dengan pendekatan multi-sensori dan multi-model
dengan menggunakan berbagai bentuk kecerdasan.
4)
Orang tua khususnya dan masyarakat umumnya harus terlibat sepenuhnya dalam
pendidikan anaknya.
5) Pendidikan watak/ jiwa (nation and character building) harus
di utamakan karena akan berpengaruh pada kepribadiannya dalam masyarakat
sebagaimana dalam lagu Indonesia raya “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
untuk Indonesia raya”.
6) Tersedianya media pengembangan bakat/talenta disekolah
seperti drum band, pencak silat, sanggar seni, lapangan bola, volly dll.
Berbicara tentang pendidikan pasti
kita mengenal sosok tentang Ki Hajar Dewantara,dengan itu kali ini kami akan
mengupas tentang perjalanan Ki Hajar Dewantara dan Hari pendidikannasional
nya Apa, Mengapa, Dan Bagaimana Pendidikan Nasional Dipandangan Ki Hajar
Dewantara.
Dari di sinilah kita, siap sedia
memberi korban yang sesuci-sucinya… sungguh, korban dengan ragamu sendiri
adalah korban yang paling ringan… memang awan tebal dan hitam menggantung di
atas kita. (Ki Hadjar Dewantara).
Siapa yang gak kenal sosok tokoh
pendidikan Bapak Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan
pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar pun aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan
Sarikat Islam. Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sangat poluler di
kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun
Karso, Tut Wuri Handayani. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah
menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahan atau
anak buahnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin adalah
kata suri tauladan. Sebagai seorang pemimpin atau komandan harus memiliki sikap
dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi
panutan bagi anak buah atau bawahannya. Sama halnya dengan Ing Madyo Mbangun
Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitan
atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Karena itu
seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan
tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kodusif untuk keamanan dan
kenyamanan kerja. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seorang komandan
atau pimpinan harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.
Memaknai
Hari Pendidikan Nasional
Tanggal 2 mei bangsa Indonesia
memperingati hari pendidikan nasional. Tanggal 2 mei dijadikan sebagai
hari lahirnya pendidikan di Indoensia diambil dari hari lahir salah satu
tokoh perjuangan pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas
Soewardi dan mendedikasikan dirinya untuk pedidikan, di kala itu tahun 1922 Ki
Hajar Dewantara mendirikan institusi pendidikan yang bernama Sekolah kerakyatan
di Yogyakarta.
Sebuah perjuangan yang mulia dan
juga tidak mudah. Waktu itu bangsa Indonesia masih dilanda kebodohan,
keterbelakangan akibat penjajahan belanda. Pergerakan memajukan pendidikan
telah mempersiapkan putra-putra bangsa yang siap berjuang untuk Indonesia
menuju kemerdekaan.
Hasilnya pun terbukti, kita sekarang
sudah merdeka. Namun apakah semangat perjuangan dari para pahlawan pendidikan
kita terdahulu masih tejaga hingga saat ini.
Kemerdekaan yang telah dicapai oleh
bangsa Indonesia, belum membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju.
Bahkan Indonesia masih tergolong negera yang masih berkembang, kualitas
pendidikan masih kalah tertinggal oleh negara jiran seperti Malaysia dan
Singapura. Padahal kita tahu sendiri bahwa bangsa kita sudah lebih dahulu
merdeka, yang lebih hebatnya lagi di tahun 1970 para putra bangsa Indonesia
menjadi guru dan pengajar di Malaysia.
Kenapa kita jadi tertinggal ?, atau
bahkan mungkin pendidikan kita berjalan ditempat ?, atau lebih parahnya lagi
kualitas pendidikan kita saat ini menurun ?. Entahlah, yang pasti kita belum
merasakan kualitas seluruh sumber daya manusia Indonesia saat ini mampu
bersaing dengan bangsa-bangsa di Dunia ini.
Yang terjadi sekarang justru masih
banyak rakyat miskin, tidak mempunyai keahlian, pengangguran dimana-mana. Apa
yang salah dengan bangsa ini ?. Padahal sekarang sekolah sudah lebih banyak
dari pada zaman kita belum merdeka.
Semoga saja pada peringatan hari
Pendidikan Nasional tahun ini, dijadikan sebagai tonggak perubahan ke arah
yang lebih baik, Menjadi bangsa yang pintar dan bermatabat, yang akan membawa
kepada kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar