Selasa, 20 Januari 2015

Karangan Tentang Pendidikan



  1. Artikel Hari Pendidikan – Hari pendidikan nasional adalah hari dari jati diri bangsa dimana hari pendidikan bisa menggambarkan atau ruh dari bangsa kita, bangsa yang besar adalah bangsa yang peduli akan pendidikan, dan pendidikan adalah modal awal dari perkembangkan bangsa.
    A.     Latar belakang
Long Life Education, kalimat yang telah kita kenal sejak dulu sampai saat ini, apalagi bagi pemerhati pendidikan. Pendidikan sepanjang hayat, itulah arti bebas dari kalimat tersebut. Pentingnya pendidikan dalam hidup dan kehidupan manusia telah menjadikannya salah satu kebutuhan pokok manusia. Manusia yang tak mempunyai pendidikan bagaikan makhluk yang raganya saja seperti manusia yang sudah meninggal (tidak berguna). Beberapa ajaran agama juga mewajibkan manusia untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, bahkan dikatakan oleh nabi SAW “tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat.” dan juga “tuntulah ilmu walaupun sampai ke negeri cina” Lebih dari itu, kini telah dipercaya bahwa bayi dalam kandungan ibunya mampu untuk berinteraksi dengan alunan suara syahdu di luar kandungan.
Kita tidak boleh lupa bahwa pendidikan bukan hanya kejadian sekali saja bagi seseorang yang berusia dibawah 18 tahun. Konsensus baru harus didasarkan pada akses yang luas terhadap pendidikan tinggi dan peluang berkesinambungan bagi setiap orang dewasa untuk belajar sepanjang hayat (Mantan P.M . Tony Blair, dikutib dari Nicholl;14- 2002)
Pentingnya pendidikan tidak hanya untuk disuarakan dan disyiarkan melalui kalimat dan jargon, namun perlu langkah nyata dalam kehidupan kita. Realisasi keberadaan anasir-anasir pendukung terhadap tercapainya suatu tuntutan terhadap pentingnya pendidikan harus segera dilakukan. Kebijakan-kebijakan dalam sistem pendidikan harus memenuhi unsur aktualitas dan berdaya guna. Konsep pendidikan sepanjang hayat menjadi panduan dalam meninggikan harkat dan martabat manusia dengan pendidikan, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini tak boleh tertinggal dengan bangsa lainnya di dunia, oleh karena itu pendidikan sejak dini harus ditanamkan kepada mereka.
Tujuan terpenting pendidikan adalah belajar bagaimana belajar (Luis Alberto Machado, Ph.D dikutib dari Nicholl;35- 2002)
Dalam kontek keindonesiaan dimana pendidikan di Indonesia pernah mencapai masa keemasan dimasa kerajaan Sriwijaya, kerajaan Mojopahit dimana pada masa tersebut menjadi pusat pendidikan Hindu-Budha, di Zaman kerjaaan Samudera Pasai menjadi pusat pendidikan islam nusantara, bukan kah ini sebuah kebanggaan bagi bangsa yang pernah menjadi pusat budaya yang memanusiakan manusia sebagai akibat dari tingginya ilmu pengetahuan pada masanya.
Pada masa prakemerdekaan Ki Hajar Dewanatara ingin mengembalikan pendidikan yang menjadi satu-satunya cara agar Indonesia meraih kemerdekaannya, sehingga bangsa ini tidak dijajah oleh pihak manapun yang ingin meraih keuntungan dibalik kebodohan bangsa. RM. Suwardi Suryaningrat rela melepas status kebangsawananya menjadi Ki Hajar Dewantara agar lebih merakyat dan sukses merubah kehidupan berbangsanya dalam waktu cukup singkat kurang lebih 23 tahun (1922-1945), kalau kita masih ingat perjuangan Ki Hajar hampir sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW yang selama 23 tahun berhasil merubah kehidupan bangsa arab dari kejahiliyahan ke bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Islam).
Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai bapak pendidikan nasional sekaligus pendiri perguruan Tamansiswa ini pada tanggal 3 juli 1922, telah melakukan terobosan baru dalam perjuangan berbangsa dan bernegara yang sebenarnya jauh dari apa yang seharusnya dilakukan oleh banyak orang pada umumnya pada saat itu, beliau telah menanamkan jiwa merdeka dan membangkitkan jiwa nasionalisme pada setiap warga bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, apapun yang dilakukan oleh suatu bangsa, termasuk di dalamnya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, hendaknyalah bermuara pada upaya menanamkan jiwa merdeka dan nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara. Merupakan suatu hal yang mustahil, apabila kita berupaya merengkuh kemerdekaan yang hakiki, namun didalam diri kita tidak terdapat jiwa merdeka dan nasionalisme yang tinggi. Dan terbukti pada tanggal 28 Oktober 1928 lahirlah “sumpah pemuda” 6 tahun setelah berdirinya Tamansiswa, para pemuda bersatu untuk meraih kemerdekaan dengan perjuangan baru yang menyatukan perbedaan dengan satu tujuan “Kemerdekaan” dan diraihlah kemerdekaan itu pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ki Hajar Dewantara dengan Tamansiswanya telah menyerukan bangsa Indonesia kembali kepada kepribadian nasionalnya. Supaya bangsa Indonesia menempuh jalan kehidupan menurut garis hidupnya. Kembali  kepada kepribadian nasionalnya berarti kembali kepada garis hidupnya, menurut kodrat alamnya. Dengan jalan nasional orang akan lebih cepat maju dari pada hanya menjadi peniru hidup orang asing yang melambatkan kemajuan itu. Dengan berani dan mau menerima alat dan teknik dari orang dan bangsa lain, dengan cara dan jiwa kepribadian sendiri, suatu bangsa akan lebih cepat maju.
  1. B.     Tujuan
Diharapkan makalah ini bisa memberi pengetahuan dan informasi baru tentang bagaimana pendidikan yang seharusnya diterapkan di Indonesia.
  1. C.     Pembahasan
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (national-culture) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga mempunyai kedudukan dan pantas bekerja sama dengan negeri lain, demi tercapainya kemuliaan manusia diseluruh dunia.
Pendidikan di sekolah/kampus merupakan salah satu upaya menanamkan jiwa merdeka , disamping pendidikan pendidikan keluarga dan pendidikan dalam lingkungan pergaulan (masyarakat). Untuk mampu menanamkan jiwa merdeka, maka aspek-aspek kemanusiaan peserta didik hendaknyalah digarap sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mencapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan (harmoni) antara pengembangan aspek jasmani dan rohani, dimana dalam aspek rohani terkandung didalamnya kemampuan cipta, rasa dan karsa. Dengan demikian, maka intelektualisme akademik yang semata-mata memacu kemampuan kognitif adalah mengingkari tujuan terbentuknya jiwa merdeka.
Menurut Sudarto (2008;71) dengan trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar dalam pendidikan Tamansiswa yang berbunyi “ Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.
Dalam trilogi pendidikan tersebut, seorang guru harus mempunyai perilaku konsisten dan konsekuen, jujur , adil, bertanggung jawab, bersatunya kata dan perbuatan (menjadi teladan), bersedia berada paling depan pada saat menghadapi kesulitan dan berada paling belakang (menikmati paling akhir) ketika menghadapi kesenangan sehingga dapat memberi pengaruh baik kepada anak didiknya. Guru  harus mampu membangkitkan motivasi (memberdayakan) sekaligus pandai “mengemong”,serta memberikan ketentraman lahir dan batin bagi anak didiknya.
Nilai-nilai budaya luhur Indonesia yang telah ditarapkan di Tamansiswa haruslah (menasional) menjadi ciri khas pendidikan Indonesia bukan sebatas komersialisasi pendidikan yang terjadi selama ini yang banyak di pengaruhi oleh politik kekuasaan. Kalau pendidikan sudah masuk dalam dunia politik kekuasaan maka tunggulah masa kehancuran pendidikan. Dalam hal pendidikan kebudayaan ditamansiswa ada Trikon (kontinuita, konvergensi dan konsentrisita) yang seharusnya lebih menasional sehingga hasil didikan di sekolah/kampus menghasil intelektual yang punya jiwa merdeka dan nasionalis serta berdaya dan berbudaya.
Pendidikan harus diperbaharui (Charles Handy dikutib dari Nicholl;16- 2002)
Melalui sistem among, Tamansiswa  meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat dimana pengajaran bagi  Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru/ pamong jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik anak/murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama. Seperti yang pernah di ungkapkan oleh Ki Hajar “Manusia jangan kalah sama cecak, walaupun cecak tak pernah sekolah, toh tidak pernah jadi penganggur”
Hal ini berarti bahwa setiap orang perlu mengembangkan keterampilan yang menjadikan dirinya benar-benar siap dan dapat bekerja menjadi orang-orang ‘MERDEKA’ (yang tidak tergantung pada orang lain) secara ekonomi. Menjadi ‘PENGUASA’ keadaan dan lingkungan, bukannya menjadi korban keadaan dan lingkungan. Menguasai perubahan ketimbang melawannya.
Abad prestasi berada dalam genggaman kita-tetapi tergantung pada ETIKA Pendidikan (Mantan PM. Tony Blair, dikutib dari Nicholl;325- 2002)
Sistem pendidikan sekarang yang dipengaruhi oleh kekuasan politik membuat pendidikan Indonesia amburadul dan keluar dari national-cultur dan faham trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar pendidikan Tamansiswa dan nasional. Sehingga Ketika sebuah negara seperti Indonesia sedang terpuruk, hampir semua sepakat untuk menyoroti pendidikan sebagai salah satu biang keladi utama. Tapi, apakah semua sudah sepakat dan sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah Pendidikan itu sama seperti ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang tertentu? Apakah Pendidikan itu berarti paham pemikiran logika dan sistematis, yang hanya mengandalkan fungsi otak kiri saja? Apakah pendidikan hanyalah sebuah sarana untuk mendapatkan Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri sendiri (dan keluarga) untuk hidup layak?
Di Indonesia, masalah pendidikan sudah sangat pelik. Memang, komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sesuai amanat Undang-Undang Dasar, tapi sampainya di daerah tidak demikian (masih banyak pemotongan), sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh dimakan usia atau korupsi. Adanya dana BOS tidak menjamin semua anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan, hal ini bisa dilihat di desa dan di sudut sudut kota masih banyak putra-putri Indonesia yang tidak bersekolah. Dari sistem perekrutan tenaga pengajar (CPNS) yang disisipi sogok menyogok, bukan pada profesionalitas pengajar dan pengabdian dalam mendidik. Pendidikan yang disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan sekedar transfer ilmu pengetahuan semata. Hal ini, terjadi hampir di seluruh Indonesia.  Jadi apakah pendidikan itu? Sistem pendidikan seperti apakah yang cocok diterapkan di Indonesia ini?
Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of knowledge, ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%. Porsi terbesar untuk mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi. Dan itu telah diterapkan dalam pendidikan Tamansiswa dengan sistem amongnya dan menjadi prinsip dasar pendidikan di Indonesia.
Seorang manusia yang berpikir dan mengetahui cara berpikir selalu dapat mengalahkan sepuluh orang yang tidak berpikir dan tidak mengetahui cara berpikir, (George Bernard Shaw dikutib dari Nicholl; 53- 2002)
Sayangnya, pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia akibat dari pendidikan yang dipolitisir oleh para penguasa. Oleh karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk bisa membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.
Pendidikan adalah sesuatu yang tersisa setelah melupakan semua yang telah dipelajari di sekolah. (Albert Einstien)
Tapi pola pendidikan ideal seperti ini sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri dan peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya.
Pendidikan bukanlah indoktrinisasi pemahaman, Di Indonesia banyak sekali lembaga pendidikan yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara langsung maupun tidak langsung untuk menanamkan doktrin-doktrin agama dalam benak anak didik dari usia muda. Hal ini patut disesalkan karena dikhawatirkan kelak anak-anak tersebut tidak mampu mengapresiasi keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini. Diperparah pula oleh timbulnya perda-perda syariat yang seakan melegalisir pemisahan bagi para siswa di sekolah. Dan, hasilnya adalah konflik antar agama, konflik horisontal antar kelompok masyarakat hanya karena berbeda dengan dirinya. Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat keberagaman bagi umat manusia, malah menjadi kutukan dan penyebab perang di antara umat manusia.
Pendidikan bukanlah hanya untuk orang kaya saja, Sekolah favorit selalu menjadi incaran orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan bersekolah di sekolah favorit maka kemungkinan besar, sang murid akan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak di masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah kita berpendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? Bila jawabannya tidak, tapi kenyataannya bahwa banyak sekolah-sekolah yang menawarkan fasilitas dan kelas ketrampilan tambahan menjadi sekolah-sekolah favorit walaupun bertarif sangat mahal. Dan, hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sana karena banyak juga perusahaan yang hanya mau mempekerjakan para lulusan dari sekolah-sekolah favorit saja. Pola pikiran seperti ini hanya menimbulkan ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan pendidikan. Jelas ini bertentangan dengan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ke-2 dari Pancasila.
Pendidikan yang diterapkan disekolah maupun di kampus telah menimbulkan ketidakadilan bagi pelajar itu sendiri karena kemerdekaannya dalam berpikir dan berkarya selalu di kekang oleh sistem yang hanya melihat prestasi dari dari satu sisi sedangkan sisi lain diabaikan, contohnya dalam hal UAN pemerintah hanya mengukur tingkat kelulusan para siswa dari nilai ujian akhir padahal yang lebih tahu para siswa lulus atau tidak lulus hanya guru disekolah tersebut yang bersama selama beberapa tahun. Belum lagi  dari sarana dan prasarana harus dilihat, harus membedakan tingkat daya serap informasi & teknologi serta pergaulan di kota dan pedalaman. .Sebaiknya UAN itu hanya untuk mengukur tingkat prestasi para siswa secara nasional bukan mengukur kelulusan.
Sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawas, penindas, merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadikan lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. (Prof. Kurt Siregar)
Dikampus banyak terjadi permasalahan yang nota bene mahasiswa adalah tingkat advanced dimana para siswa bisa menalaah atau menafsirkan dan mengembangkan pemahamannya tentang suatu teori. Mereka seharusnya lebih ditekankan bagaimana cara mereka belajar bukan pada apa yang mereka pelajari.
Para pelajar boleh jadi belajar dalam berbagai cara yang berbeda-tetapi satu hal yang sama-sama mereka miliki adalah pendekatan aktif terhadap pembelajaran. Mereka tidak pernah duduk dengan pasif mendengarkan atau membaca. Mereka senantiasa bertanya kepada diri sendiri, serta selalu melakukan sesuatu untuk meyakinkan diri bahwa mereka telah mendapatkan fakta-fakta dalam cara yang sesuai dengan pilihan-pilihannya. Terserah bagaimana cara mereka memastikan diri bahwa mereka sudah memperoleh informasi dengan cara mereka sendiri yang paling mudah dalam memperoleh dan mengingatnya.
Melalui tindakan anda menciptakan pendidikan anda sendiri. (David B. Ellis dikutib dari Nicholl;126- 2002)
Jangan bikin aku berjalan ketika aku ingin terbang.(Galena Dolva dikutib dari Nicholl;128- 2002)
Sebuah contoh, Sistem pengajaran dan penilaian para dosen di sebuah universitas dimana banyak penyimpangan dari prinsip dasar pendidikan. Kepuasan mahasiswa dalam belajar di  univesitas berkurang karena beberapa sebab, antara lain mayoritas cara pengajaran yang membosankan sehingga hasilnya mahasiswa tidak bisa menjawab soal waktu ujian, begitu juga dalam penilaian kadangkala menggunakan sistem random sehingga membuat sebagian mahasiswa menanyakan bagaimanakah cara penilaian dosen itu? “Kok, seperti ini nilaiku padahal aku yakin jawabanku benar” ada juga kasus dimana sejumlah mahasiswa sampai mengulang mata kuliah tertentu samapi 2-3 kali tapi nilainya sama bahkan tambah buruk, padahal mereka mengulang hanya untuk memperbaiki nilai, bukankah mengulang salah satu bentuk usaha? Dimana cara dosen menghargai usaha mahasiswanya? Ada kasus lain dimana sejumlah mahasiswa mengumpulkan tugas mata kuliah tertentu, tapi nilainya juga tidak memuaskan. Terus mahasiswa tersebut berkata “Kok seperti ini cara menghargai karya mahasiswa? Padahal aku telah berusaha dengan sebaik mungkin tapi nilainya??? Bukankah ini juga menyangkut nama baik univesitas tersebut  didunia kerja nasional, kalau nilainya tidak meyakinkan untuk masuk dan diseleksi, bagaimana bisa di terima jadi PNS atau pegawai lainnya? Dan pada akhir lulusan universitas tersebut menjadi kerdil dan minder dalam menghadapi dunia kerja. Padahal lulus dan segera mendapatkan kerja merupakan tujuan kami kuliah, kami datang dari daerah yang jauh untuk memperbaiki daerah dan masa depan kami. Itu semua merupakan sebuah pertanyaan besar bagi para calon pemimpin ini.
Lebih-lebih pada zaman sekarang ada pengaruh negatif yang diakibatkan oleh ProgramTelevisi (TV) yang tidak mendidik. Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good.  Celakanya, program-program TV negara ini dipenuhi hal-hal berbau klenik, perdukunan, kekerasan, budaya instan, pola hidup konsumtif, dll. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat kita mudah sekali ditipu oleh sms-sms berhadiah karena ingin cepat kaya (budaya instan), oleh iklan-iklan yang menimbulkan keinginan berbelanja barang-barang yang tidak diperlukan (konsumtif), bertikai dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah dibodohkan oleh cerita-cerita gaib ilmu perdukunan maupun ramalan.
Maka dari itu perlunya solusi yaitu mengembalikan sistem pendidikan Indonesia ke aslinya yang berbasis budaya Indonesia.dimana pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, “Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.”
Pendidikan itu bukan suatu pemaksaan. Inilah yang paling menyentuh dan paling relevan dari pandangan Ki Hajar Dewantara dalam alam demokrasi. Artinya jangan memaksakan dan mematikan perkembangan alamiah anak didik. Akan tetapi, pendidikan harus bisa mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada pada anak didik. Oleh sebab itu, pendidikan dengan pemaksaan harus diganti dengan pendidikan yang bersifat Among Sistem. Yakni sistem yang memerdekakan pikiran, semangat, dan kreativitas anak didik. Pada zaman dulu kita melihat guru datang kepada murid untuk mengindoktrinasi. Jika anak itu tidak menguasai pelajaran, ia mendapat hukuman. Kalau anak itu bisa menjawab, ia memperoleh hadiah. Sistem seperti ini harus diganti, karena dinilai tidak mendidik, tidak memerdekakan pikiran, semangat dan kreativitas serta karya anak didiknya.
Guru wajib mengasuh anak didiknya, mengasah kodrati secara alamiah. Guru juga wajib mendorong anak didiknya dengan metode Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarsa sung tuladha, maksudnya bila seseorang berada di depan diharapkan mampu menjadi teladan atau contoh yang baik bagi anak didik/ anak buah atau pengikutnya, ing madya mangun karsa, maksudnya seseorang level menengah diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide-ide yang baru untuk mendukung program yang sudah diterapkan,  tut wuri handayani, maksudnya jika posisi kita berada dibelakang, diharapkan ikut mendukung program-program yang sudah ditetapkan, tidak justru menjegal agar gagal.
Ada beberapa ajaran dari bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan diantaranya beliau mengibaratkan bahwa pendidikan laksana sebuah taman (system) dimana ditaman itu tempat tumbuh kembangnya bunga-bunga (siswa), kita sebagai pendidik hanyalah tukang kebun. Apabila kita melihat bunga mawar janganlah lihat tangkai dan durinya tapi lihatlah bunganya, jika kita hanya melihat tangkai dan durinya maka yang ada hanya “sampah” tapi kalau lihat bunganya maka kita akan merasakan keindahan dan keharumannya. Ditaman pasti ada bunga yang kurang subur, tugas kita sebagai tukang kebun hanya merawat, memupuk dan menyiramnya. Tingkat kesuburan tergantung pada kualitas bibit dan tanahnya, sehingga kita sebagai tukang kebun merawat agar bunga bunga itu tidak mati, dalam hal ini kesuburan tanaman menjadi pusat perhatian guru.
Tukang kebun hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis tanaman dengan usaha-usaha yang mendorong perbaikan perkembangan jenisnya. Tukang kebun juga tidak bisa memaksa tanaman mempercepat bunganya agar segera bisa dipanen demi kepentingan mendesak, tapi semua itu harus diikuti dengan kesabaran. Oleh sebab itu, tukang kebun/taman harus tahu sifat dan watak serta jenis-jenis tanamannya, sehingga bisa membedakan antara bunga mawar dan melati. Disamping itu, tukang kebun juga harus paham akan ilmu mengasuh tanaman agar bisa bercocok tanaman dengan baik, agar yang dihasilkan adalah tanaman dari tanah yang subur dan bunga yang baik.
Menurut Ki Hajar D, tukang kebun tidak boleh membedakan dari mana asal; tanaman, pupuk, alat kelengkapan dan asal ilmu pengetahuan itu. Namun yang harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman menurut kodrat alamnya (potensinya).
Seperti yang telah di ungkapkan oleh Luis Alberto, Ph. D bahwa tujuan pendidikan adalah belajar bagaimana belajar karena ketika seseorang mempelajari cara belajar, kepercyaan dan keyakinan dirinya meningkat. Ketika seseorang mempelajari cara belajar, mereka tidak hanya bisa menghadapi teknologi baru dan perubahan, bahkan mereka menyambut baik kedatangannya. Dia memperoleh kemampuan dasar untuk menjadi pelajar yang mampu mengatur diri, dan kemampuan dasar untuk meningkatkan pengembangan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk berubah dari konsumen pendidikan yang pasif menjadi pengelola pembelajaran dan kehidupan yang aktif bagi diri sendiri.
Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19, Pendidikan yang baik akan menempa seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan sistem pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa.
  1. D.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para pendidik sama-sama mempunyai filosofi pendidikan dimana melihat dengan arif dan bijaksana bahwa:
1)      Para siswa pertama-tama dan terutama harus belajar “belajar bagaimana belajar” dan belajar bagaimana berpikir.
2)      Belajar harus menyenangkan disamping membangun percaya diri.
3)      Pengetahuan harus disampaikan dengan pendekatan multi-sensori dan multi-model dengan menggunakan berbagai bentuk kecerdasan.
4)      Orang tua khususnya dan masyarakat umumnya harus terlibat sepenuhnya dalam pendidikan anaknya.
5)      Pendidikan watak/ jiwa (nation and character building) harus di utamakan karena akan berpengaruh pada kepribadiannya dalam masyarakat sebagaimana dalam lagu Indonesia raya “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya”.
6)      Tersedianya media pengembangan bakat/talenta disekolah seperti drum band, pencak silat, sanggar seni, lapangan bola, volly dll.

Berbicara tentang pendidikan pasti kita mengenal sosok tentang Ki Hajar Dewantara,dengan itu kali ini kami akan mengupas tentang perjalanan Ki Hajar Dewantara  dan Hari pendidikannasional nya Apa, Mengapa, Dan Bagaimana Pendidikan Nasional Dipandangan Ki Hajar Dewantara.
Dari di sinilah kita, siap sedia memberi korban yang sesuci-sucinya… sungguh, korban dengan ragamu sendiri adalah korban yang paling ringan… memang awan tebal dan hitam menggantung di atas kita. (Ki Hadjar Dewantara).
Siapa yang gak kenal sosok tokoh pendidikan Bapak Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar pun aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat Islam. Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahan atau anak buahnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin adalah kata suri tauladan. Sebagai seorang pemimpin atau komandan harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buah atau bawahannya. Sama halnya dengan Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Karena itu seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan kerja. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seorang komandan atau pimpinan harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.
Memaknai Hari Pendidikan Nasional
Tanggal 2 mei bangsa Indonesia memperingati hari pendidikan nasional. Tanggal 2 mei dijadikan sebagai hari lahirnya pendidikan di Indoensia diambil dari hari lahir salah satu tokoh perjuangan pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi dan mendedikasikan dirinya untuk pedidikan, di kala itu tahun 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan institusi pendidikan yang bernama Sekolah kerakyatan di Yogyakarta.
Sebuah perjuangan yang mulia dan juga tidak mudah. Waktu itu bangsa Indonesia masih dilanda kebodohan, keterbelakangan akibat penjajahan belanda. Pergerakan memajukan pendidikan telah mempersiapkan putra-putra bangsa yang siap berjuang untuk Indonesia menuju kemerdekaan.
Hasilnya pun terbukti, kita sekarang sudah merdeka. Namun apakah semangat perjuangan dari para pahlawan pendidikan kita terdahulu masih tejaga hingga saat ini.
Kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia, belum membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju. Bahkan Indonesia masih tergolong negera yang masih berkembang, kualitas pendidikan masih kalah tertinggal oleh negara jiran seperti Malaysia dan Singapura. Padahal kita tahu sendiri bahwa bangsa kita sudah lebih dahulu merdeka, yang lebih hebatnya lagi di tahun 1970 para putra bangsa Indonesia menjadi guru dan pengajar di Malaysia.
Kenapa kita jadi tertinggal ?, atau bahkan mungkin pendidikan kita berjalan ditempat ?, atau lebih parahnya lagi kualitas pendidikan kita saat ini menurun ?. Entahlah, yang pasti kita belum merasakan kualitas seluruh sumber daya manusia Indonesia saat ini mampu bersaing dengan bangsa-bangsa di Dunia ini.
Yang terjadi sekarang justru masih banyak rakyat miskin, tidak mempunyai keahlian, pengangguran dimana-mana. Apa yang salah dengan bangsa ini ?. Padahal sekarang sekolah sudah lebih banyak dari pada zaman kita belum merdeka.
Semoga saja pada peringatan hari Pendidikan Nasional tahun ini, dijadikan sebagai tonggak perubahan ke arah yang lebih baik, Menjadi bangsa yang pintar dan bermatabat, yang akan membawa kepada kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.

Karangan Tentang Pendidikan



  1. Artikel Hari Pendidikan – Hari pendidikan nasional adalah hari dari jati diri bangsa dimana hari pendidikan bisa menggambarkan atau ruh dari bangsa kita, bangsa yang besar adalah bangsa yang peduli akan pendidikan, dan pendidikan adalah modal awal dari perkembangkan bangsa.
    A.     Latar belakang
Long Life Education, kalimat yang telah kita kenal sejak dulu sampai saat ini, apalagi bagi pemerhati pendidikan. Pendidikan sepanjang hayat, itulah arti bebas dari kalimat tersebut. Pentingnya pendidikan dalam hidup dan kehidupan manusia telah menjadikannya salah satu kebutuhan pokok manusia. Manusia yang tak mempunyai pendidikan bagaikan makhluk yang raganya saja seperti manusia yang sudah meninggal (tidak berguna). Beberapa ajaran agama juga mewajibkan manusia untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, bahkan dikatakan oleh nabi SAW “tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang lahat.” dan juga “tuntulah ilmu walaupun sampai ke negeri cina” Lebih dari itu, kini telah dipercaya bahwa bayi dalam kandungan ibunya mampu untuk berinteraksi dengan alunan suara syahdu di luar kandungan.
Kita tidak boleh lupa bahwa pendidikan bukan hanya kejadian sekali saja bagi seseorang yang berusia dibawah 18 tahun. Konsensus baru harus didasarkan pada akses yang luas terhadap pendidikan tinggi dan peluang berkesinambungan bagi setiap orang dewasa untuk belajar sepanjang hayat (Mantan P.M . Tony Blair, dikutib dari Nicholl;14- 2002)
Pentingnya pendidikan tidak hanya untuk disuarakan dan disyiarkan melalui kalimat dan jargon, namun perlu langkah nyata dalam kehidupan kita. Realisasi keberadaan anasir-anasir pendukung terhadap tercapainya suatu tuntutan terhadap pentingnya pendidikan harus segera dilakukan. Kebijakan-kebijakan dalam sistem pendidikan harus memenuhi unsur aktualitas dan berdaya guna. Konsep pendidikan sepanjang hayat menjadi panduan dalam meninggikan harkat dan martabat manusia dengan pendidikan, termasuk manusia Indonesia. Anak-anak bangsa ini tak boleh tertinggal dengan bangsa lainnya di dunia, oleh karena itu pendidikan sejak dini harus ditanamkan kepada mereka.
Tujuan terpenting pendidikan adalah belajar bagaimana belajar (Luis Alberto Machado, Ph.D dikutib dari Nicholl;35- 2002)
Dalam kontek keindonesiaan dimana pendidikan di Indonesia pernah mencapai masa keemasan dimasa kerajaan Sriwijaya, kerajaan Mojopahit dimana pada masa tersebut menjadi pusat pendidikan Hindu-Budha, di Zaman kerjaaan Samudera Pasai menjadi pusat pendidikan islam nusantara, bukan kah ini sebuah kebanggaan bagi bangsa yang pernah menjadi pusat budaya yang memanusiakan manusia sebagai akibat dari tingginya ilmu pengetahuan pada masanya.
Pada masa prakemerdekaan Ki Hajar Dewanatara ingin mengembalikan pendidikan yang menjadi satu-satunya cara agar Indonesia meraih kemerdekaannya, sehingga bangsa ini tidak dijajah oleh pihak manapun yang ingin meraih keuntungan dibalik kebodohan bangsa. RM. Suwardi Suryaningrat rela melepas status kebangsawananya menjadi Ki Hajar Dewantara agar lebih merakyat dan sukses merubah kehidupan berbangsanya dalam waktu cukup singkat kurang lebih 23 tahun (1922-1945), kalau kita masih ingat perjuangan Ki Hajar hampir sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW yang selama 23 tahun berhasil merubah kehidupan bangsa arab dari kejahiliyahan ke bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Islam).
Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai bapak pendidikan nasional sekaligus pendiri perguruan Tamansiswa ini pada tanggal 3 juli 1922, telah melakukan terobosan baru dalam perjuangan berbangsa dan bernegara yang sebenarnya jauh dari apa yang seharusnya dilakukan oleh banyak orang pada umumnya pada saat itu, beliau telah menanamkan jiwa merdeka dan membangkitkan jiwa nasionalisme pada setiap warga bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, apapun yang dilakukan oleh suatu bangsa, termasuk di dalamnya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, hendaknyalah bermuara pada upaya menanamkan jiwa merdeka dan nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara. Merupakan suatu hal yang mustahil, apabila kita berupaya merengkuh kemerdekaan yang hakiki, namun didalam diri kita tidak terdapat jiwa merdeka dan nasionalisme yang tinggi. Dan terbukti pada tanggal 28 Oktober 1928 lahirlah “sumpah pemuda” 6 tahun setelah berdirinya Tamansiswa, para pemuda bersatu untuk meraih kemerdekaan dengan perjuangan baru yang menyatukan perbedaan dengan satu tujuan “Kemerdekaan” dan diraihlah kemerdekaan itu pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ki Hajar Dewantara dengan Tamansiswanya telah menyerukan bangsa Indonesia kembali kepada kepribadian nasionalnya. Supaya bangsa Indonesia menempuh jalan kehidupan menurut garis hidupnya. Kembali  kepada kepribadian nasionalnya berarti kembali kepada garis hidupnya, menurut kodrat alamnya. Dengan jalan nasional orang akan lebih cepat maju dari pada hanya menjadi peniru hidup orang asing yang melambatkan kemajuan itu. Dengan berani dan mau menerima alat dan teknik dari orang dan bangsa lain, dengan cara dan jiwa kepribadian sendiri, suatu bangsa akan lebih cepat maju.
  1. B.     Tujuan
Diharapkan makalah ini bisa memberi pengetahuan dan informasi baru tentang bagaimana pendidikan yang seharusnya diterapkan di Indonesia.
  1. C.     Pembahasan
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis bangsanya (national-culture) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga mempunyai kedudukan dan pantas bekerja sama dengan negeri lain, demi tercapainya kemuliaan manusia diseluruh dunia.
Pendidikan di sekolah/kampus merupakan salah satu upaya menanamkan jiwa merdeka , disamping pendidikan pendidikan keluarga dan pendidikan dalam lingkungan pergaulan (masyarakat). Untuk mampu menanamkan jiwa merdeka, maka aspek-aspek kemanusiaan peserta didik hendaknyalah digarap sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mencapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan (harmoni) antara pengembangan aspek jasmani dan rohani, dimana dalam aspek rohani terkandung didalamnya kemampuan cipta, rasa dan karsa. Dengan demikian, maka intelektualisme akademik yang semata-mata memacu kemampuan kognitif adalah mengingkari tujuan terbentuknya jiwa merdeka.
Menurut Sudarto (2008;71) dengan trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar dalam pendidikan Tamansiswa yang berbunyi “ Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.
Dalam trilogi pendidikan tersebut, seorang guru harus mempunyai perilaku konsisten dan konsekuen, jujur , adil, bertanggung jawab, bersatunya kata dan perbuatan (menjadi teladan), bersedia berada paling depan pada saat menghadapi kesulitan dan berada paling belakang (menikmati paling akhir) ketika menghadapi kesenangan sehingga dapat memberi pengaruh baik kepada anak didiknya. Guru  harus mampu membangkitkan motivasi (memberdayakan) sekaligus pandai “mengemong”,serta memberikan ketentraman lahir dan batin bagi anak didiknya.
Nilai-nilai budaya luhur Indonesia yang telah ditarapkan di Tamansiswa haruslah (menasional) menjadi ciri khas pendidikan Indonesia bukan sebatas komersialisasi pendidikan yang terjadi selama ini yang banyak di pengaruhi oleh politik kekuasaan. Kalau pendidikan sudah masuk dalam dunia politik kekuasaan maka tunggulah masa kehancuran pendidikan. Dalam hal pendidikan kebudayaan ditamansiswa ada Trikon (kontinuita, konvergensi dan konsentrisita) yang seharusnya lebih menasional sehingga hasil didikan di sekolah/kampus menghasil intelektual yang punya jiwa merdeka dan nasionalis serta berdaya dan berbudaya.
Pendidikan harus diperbaharui (Charles Handy dikutib dari Nicholl;16- 2002)
Melalui sistem among, Tamansiswa  meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat dimana pengajaran bagi  Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru/ pamong jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik anak/murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup bersama. Seperti yang pernah di ungkapkan oleh Ki Hajar “Manusia jangan kalah sama cecak, walaupun cecak tak pernah sekolah, toh tidak pernah jadi penganggur”
Hal ini berarti bahwa setiap orang perlu mengembangkan keterampilan yang menjadikan dirinya benar-benar siap dan dapat bekerja menjadi orang-orang ‘MERDEKA’ (yang tidak tergantung pada orang lain) secara ekonomi. Menjadi ‘PENGUASA’ keadaan dan lingkungan, bukannya menjadi korban keadaan dan lingkungan. Menguasai perubahan ketimbang melawannya.
Abad prestasi berada dalam genggaman kita-tetapi tergantung pada ETIKA Pendidikan (Mantan PM. Tony Blair, dikutib dari Nicholl;325- 2002)
Sistem pendidikan sekarang yang dipengaruhi oleh kekuasan politik membuat pendidikan Indonesia amburadul dan keluar dari national-cultur dan faham trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar pendidikan Tamansiswa dan nasional. Sehingga Ketika sebuah negara seperti Indonesia sedang terpuruk, hampir semua sepakat untuk menyoroti pendidikan sebagai salah satu biang keladi utama. Tapi, apakah semua sudah sepakat dan sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah Pendidikan itu sama seperti ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang tertentu? Apakah Pendidikan itu berarti paham pemikiran logika dan sistematis, yang hanya mengandalkan fungsi otak kiri saja? Apakah pendidikan hanyalah sebuah sarana untuk mendapatkan Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri sendiri (dan keluarga) untuk hidup layak?
Di Indonesia, masalah pendidikan sudah sangat pelik. Memang, komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sesuai amanat Undang-Undang Dasar, tapi sampainya di daerah tidak demikian (masih banyak pemotongan), sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh dimakan usia atau korupsi. Adanya dana BOS tidak menjamin semua anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan, hal ini bisa dilihat di desa dan di sudut sudut kota masih banyak putra-putri Indonesia yang tidak bersekolah. Dari sistem perekrutan tenaga pengajar (CPNS) yang disisipi sogok menyogok, bukan pada profesionalitas pengajar dan pengabdian dalam mendidik. Pendidikan yang disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan sekedar transfer ilmu pengetahuan semata. Hal ini, terjadi hampir di seluruh Indonesia.  Jadi apakah pendidikan itu? Sistem pendidikan seperti apakah yang cocok diterapkan di Indonesia ini?
Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of knowledge, ada sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika dan intelektual, pada keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya 4%. Porsi terbesar untuk mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak kanan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi. Dan itu telah diterapkan dalam pendidikan Tamansiswa dengan sistem amongnya dan menjadi prinsip dasar pendidikan di Indonesia.
Seorang manusia yang berpikir dan mengetahui cara berpikir selalu dapat mengalahkan sepuluh orang yang tidak berpikir dan tidak mengetahui cara berpikir, (George Bernard Shaw dikutib dari Nicholl; 53- 2002)
Sayangnya, pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia akibat dari pendidikan yang dipolitisir oleh para penguasa. Oleh karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk bisa membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.
Pendidikan adalah sesuatu yang tersisa setelah melupakan semua yang telah dipelajari di sekolah. (Albert Einstien)
Tapi pola pendidikan ideal seperti ini sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri dan peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya.
Pendidikan bukanlah indoktrinisasi pemahaman, Di Indonesia banyak sekali lembaga pendidikan yang didirikan oleh lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara langsung maupun tidak langsung untuk menanamkan doktrin-doktrin agama dalam benak anak didik dari usia muda. Hal ini patut disesalkan karena dikhawatirkan kelak anak-anak tersebut tidak mampu mengapresiasi keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini. Diperparah pula oleh timbulnya perda-perda syariat yang seakan melegalisir pemisahan bagi para siswa di sekolah. Dan, hasilnya adalah konflik antar agama, konflik horisontal antar kelompok masyarakat hanya karena berbeda dengan dirinya. Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat keberagaman bagi umat manusia, malah menjadi kutukan dan penyebab perang di antara umat manusia.
Pendidikan bukanlah hanya untuk orang kaya saja, Sekolah favorit selalu menjadi incaran orangtua murid untuk menyekolahkan anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan bersekolah di sekolah favorit maka kemungkinan besar, sang murid akan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak di masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah kita berpendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? Bila jawabannya tidak, tapi kenyataannya bahwa banyak sekolah-sekolah yang menawarkan fasilitas dan kelas ketrampilan tambahan menjadi sekolah-sekolah favorit walaupun bertarif sangat mahal. Dan, hanya orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sana karena banyak juga perusahaan yang hanya mau mempekerjakan para lulusan dari sekolah-sekolah favorit saja. Pola pikiran seperti ini hanya menimbulkan ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan pendidikan. Jelas ini bertentangan dengan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ke-2 dari Pancasila.
Pendidikan yang diterapkan disekolah maupun di kampus telah menimbulkan ketidakadilan bagi pelajar itu sendiri karena kemerdekaannya dalam berpikir dan berkarya selalu di kekang oleh sistem yang hanya melihat prestasi dari dari satu sisi sedangkan sisi lain diabaikan, contohnya dalam hal UAN pemerintah hanya mengukur tingkat kelulusan para siswa dari nilai ujian akhir padahal yang lebih tahu para siswa lulus atau tidak lulus hanya guru disekolah tersebut yang bersama selama beberapa tahun. Belum lagi  dari sarana dan prasarana harus dilihat, harus membedakan tingkat daya serap informasi & teknologi serta pergaulan di kota dan pedalaman. .Sebaiknya UAN itu hanya untuk mengukur tingkat prestasi para siswa secara nasional bukan mengukur kelulusan.
Sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawas, penindas, merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadikan lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. (Prof. Kurt Siregar)
Dikampus banyak terjadi permasalahan yang nota bene mahasiswa adalah tingkat advanced dimana para siswa bisa menalaah atau menafsirkan dan mengembangkan pemahamannya tentang suatu teori. Mereka seharusnya lebih ditekankan bagaimana cara mereka belajar bukan pada apa yang mereka pelajari.
Para pelajar boleh jadi belajar dalam berbagai cara yang berbeda-tetapi satu hal yang sama-sama mereka miliki adalah pendekatan aktif terhadap pembelajaran. Mereka tidak pernah duduk dengan pasif mendengarkan atau membaca. Mereka senantiasa bertanya kepada diri sendiri, serta selalu melakukan sesuatu untuk meyakinkan diri bahwa mereka telah mendapatkan fakta-fakta dalam cara yang sesuai dengan pilihan-pilihannya. Terserah bagaimana cara mereka memastikan diri bahwa mereka sudah memperoleh informasi dengan cara mereka sendiri yang paling mudah dalam memperoleh dan mengingatnya.
Melalui tindakan anda menciptakan pendidikan anda sendiri. (David B. Ellis dikutib dari Nicholl;126- 2002)
Jangan bikin aku berjalan ketika aku ingin terbang.(Galena Dolva dikutib dari Nicholl;128- 2002)
Sebuah contoh, Sistem pengajaran dan penilaian para dosen di sebuah universitas dimana banyak penyimpangan dari prinsip dasar pendidikan. Kepuasan mahasiswa dalam belajar di  univesitas berkurang karena beberapa sebab, antara lain mayoritas cara pengajaran yang membosankan sehingga hasilnya mahasiswa tidak bisa menjawab soal waktu ujian, begitu juga dalam penilaian kadangkala menggunakan sistem random sehingga membuat sebagian mahasiswa menanyakan bagaimanakah cara penilaian dosen itu? “Kok, seperti ini nilaiku padahal aku yakin jawabanku benar” ada juga kasus dimana sejumlah mahasiswa sampai mengulang mata kuliah tertentu samapi 2-3 kali tapi nilainya sama bahkan tambah buruk, padahal mereka mengulang hanya untuk memperbaiki nilai, bukankah mengulang salah satu bentuk usaha? Dimana cara dosen menghargai usaha mahasiswanya? Ada kasus lain dimana sejumlah mahasiswa mengumpulkan tugas mata kuliah tertentu, tapi nilainya juga tidak memuaskan. Terus mahasiswa tersebut berkata “Kok seperti ini cara menghargai karya mahasiswa? Padahal aku telah berusaha dengan sebaik mungkin tapi nilainya??? Bukankah ini juga menyangkut nama baik univesitas tersebut  didunia kerja nasional, kalau nilainya tidak meyakinkan untuk masuk dan diseleksi, bagaimana bisa di terima jadi PNS atau pegawai lainnya? Dan pada akhir lulusan universitas tersebut menjadi kerdil dan minder dalam menghadapi dunia kerja. Padahal lulus dan segera mendapatkan kerja merupakan tujuan kami kuliah, kami datang dari daerah yang jauh untuk memperbaiki daerah dan masa depan kami. Itu semua merupakan sebuah pertanyaan besar bagi para calon pemimpin ini.
Lebih-lebih pada zaman sekarang ada pengaruh negatif yang diakibatkan oleh ProgramTelevisi (TV) yang tidak mendidik. Apabila acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43% untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser film dan iklan-iklan consumer good.  Celakanya, program-program TV negara ini dipenuhi hal-hal berbau klenik, perdukunan, kekerasan, budaya instan, pola hidup konsumtif, dll. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat kita mudah sekali ditipu oleh sms-sms berhadiah karena ingin cepat kaya (budaya instan), oleh iklan-iklan yang menimbulkan keinginan berbelanja barang-barang yang tidak diperlukan (konsumtif), bertikai dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah dibodohkan oleh cerita-cerita gaib ilmu perdukunan maupun ramalan.
Maka dari itu perlunya solusi yaitu mengembalikan sistem pendidikan Indonesia ke aslinya yang berbasis budaya Indonesia.dimana pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, “Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.”
Pendidikan itu bukan suatu pemaksaan. Inilah yang paling menyentuh dan paling relevan dari pandangan Ki Hajar Dewantara dalam alam demokrasi. Artinya jangan memaksakan dan mematikan perkembangan alamiah anak didik. Akan tetapi, pendidikan harus bisa mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada pada anak didik. Oleh sebab itu, pendidikan dengan pemaksaan harus diganti dengan pendidikan yang bersifat Among Sistem. Yakni sistem yang memerdekakan pikiran, semangat, dan kreativitas anak didik. Pada zaman dulu kita melihat guru datang kepada murid untuk mengindoktrinasi. Jika anak itu tidak menguasai pelajaran, ia mendapat hukuman. Kalau anak itu bisa menjawab, ia memperoleh hadiah. Sistem seperti ini harus diganti, karena dinilai tidak mendidik, tidak memerdekakan pikiran, semangat dan kreativitas serta karya anak didiknya.
Guru wajib mengasuh anak didiknya, mengasah kodrati secara alamiah. Guru juga wajib mendorong anak didiknya dengan metode Ki Hajar Dewantara, yakni ing ngarsa sung tuladha, maksudnya bila seseorang berada di depan diharapkan mampu menjadi teladan atau contoh yang baik bagi anak didik/ anak buah atau pengikutnya, ing madya mangun karsa, maksudnya seseorang level menengah diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide-ide yang baru untuk mendukung program yang sudah diterapkan,  tut wuri handayani, maksudnya jika posisi kita berada dibelakang, diharapkan ikut mendukung program-program yang sudah ditetapkan, tidak justru menjegal agar gagal.
Ada beberapa ajaran dari bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan diantaranya beliau mengibaratkan bahwa pendidikan laksana sebuah taman (system) dimana ditaman itu tempat tumbuh kembangnya bunga-bunga (siswa), kita sebagai pendidik hanyalah tukang kebun. Apabila kita melihat bunga mawar janganlah lihat tangkai dan durinya tapi lihatlah bunganya, jika kita hanya melihat tangkai dan durinya maka yang ada hanya “sampah” tapi kalau lihat bunganya maka kita akan merasakan keindahan dan keharumannya. Ditaman pasti ada bunga yang kurang subur, tugas kita sebagai tukang kebun hanya merawat, memupuk dan menyiramnya. Tingkat kesuburan tergantung pada kualitas bibit dan tanahnya, sehingga kita sebagai tukang kebun merawat agar bunga bunga itu tidak mati, dalam hal ini kesuburan tanaman menjadi pusat perhatian guru.
Tukang kebun hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis tanaman dengan usaha-usaha yang mendorong perbaikan perkembangan jenisnya. Tukang kebun juga tidak bisa memaksa tanaman mempercepat bunganya agar segera bisa dipanen demi kepentingan mendesak, tapi semua itu harus diikuti dengan kesabaran. Oleh sebab itu, tukang kebun/taman harus tahu sifat dan watak serta jenis-jenis tanamannya, sehingga bisa membedakan antara bunga mawar dan melati. Disamping itu, tukang kebun juga harus paham akan ilmu mengasuh tanaman agar bisa bercocok tanaman dengan baik, agar yang dihasilkan adalah tanaman dari tanah yang subur dan bunga yang baik.
Menurut Ki Hajar D, tukang kebun tidak boleh membedakan dari mana asal; tanaman, pupuk, alat kelengkapan dan asal ilmu pengetahuan itu. Namun yang harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman menurut kodrat alamnya (potensinya).
Seperti yang telah di ungkapkan oleh Luis Alberto, Ph. D bahwa tujuan pendidikan adalah belajar bagaimana belajar karena ketika seseorang mempelajari cara belajar, kepercyaan dan keyakinan dirinya meningkat. Ketika seseorang mempelajari cara belajar, mereka tidak hanya bisa menghadapi teknologi baru dan perubahan, bahkan mereka menyambut baik kedatangannya. Dia memperoleh kemampuan dasar untuk menjadi pelajar yang mampu mengatur diri, dan kemampuan dasar untuk meningkatkan pengembangan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk berubah dari konsumen pendidikan yang pasif menjadi pengelola pembelajaran dan kehidupan yang aktif bagi diri sendiri.
Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19, Pendidikan yang baik akan menempa seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan sistem pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa.
  1. D.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa para pendidik sama-sama mempunyai filosofi pendidikan dimana melihat dengan arif dan bijaksana bahwa:
1)      Para siswa pertama-tama dan terutama harus belajar “belajar bagaimana belajar” dan belajar bagaimana berpikir.
2)      Belajar harus menyenangkan disamping membangun percaya diri.
3)      Pengetahuan harus disampaikan dengan pendekatan multi-sensori dan multi-model dengan menggunakan berbagai bentuk kecerdasan.
4)      Orang tua khususnya dan masyarakat umumnya harus terlibat sepenuhnya dalam pendidikan anaknya.
5)      Pendidikan watak/ jiwa (nation and character building) harus di utamakan karena akan berpengaruh pada kepribadiannya dalam masyarakat sebagaimana dalam lagu Indonesia raya “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya”.
6)      Tersedianya media pengembangan bakat/talenta disekolah seperti drum band, pencak silat, sanggar seni, lapangan bola, volly dll.

Berbicara tentang pendidikan pasti kita mengenal sosok tentang Ki Hajar Dewantara,dengan itu kali ini kami akan mengupas tentang perjalanan Ki Hajar Dewantara  dan Hari pendidikannasional nya Apa, Mengapa, Dan Bagaimana Pendidikan Nasional Dipandangan Ki Hajar Dewantara.
Dari di sinilah kita, siap sedia memberi korban yang sesuci-sucinya… sungguh, korban dengan ragamu sendiri adalah korban yang paling ringan… memang awan tebal dan hitam menggantung di atas kita. (Ki Hadjar Dewantara).
Siapa yang gak kenal sosok tokoh pendidikan Bapak Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar pun aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat Islam. Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahan atau anak buahnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin adalah kata suri tauladan. Sebagai seorang pemimpin atau komandan harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buah atau bawahannya. Sama halnya dengan Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Karena itu seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan kerja. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seorang komandan atau pimpinan harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.
Memaknai Hari Pendidikan Nasional
Tanggal 2 mei bangsa Indonesia memperingati hari pendidikan nasional. Tanggal 2 mei dijadikan sebagai hari lahirnya pendidikan di Indoensia diambil dari hari lahir salah satu tokoh perjuangan pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi dan mendedikasikan dirinya untuk pedidikan, di kala itu tahun 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan institusi pendidikan yang bernama Sekolah kerakyatan di Yogyakarta.
Sebuah perjuangan yang mulia dan juga tidak mudah. Waktu itu bangsa Indonesia masih dilanda kebodohan, keterbelakangan akibat penjajahan belanda. Pergerakan memajukan pendidikan telah mempersiapkan putra-putra bangsa yang siap berjuang untuk Indonesia menuju kemerdekaan.
Hasilnya pun terbukti, kita sekarang sudah merdeka. Namun apakah semangat perjuangan dari para pahlawan pendidikan kita terdahulu masih tejaga hingga saat ini.
Kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia, belum membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju. Bahkan Indonesia masih tergolong negera yang masih berkembang, kualitas pendidikan masih kalah tertinggal oleh negara jiran seperti Malaysia dan Singapura. Padahal kita tahu sendiri bahwa bangsa kita sudah lebih dahulu merdeka, yang lebih hebatnya lagi di tahun 1970 para putra bangsa Indonesia menjadi guru dan pengajar di Malaysia.
Kenapa kita jadi tertinggal ?, atau bahkan mungkin pendidikan kita berjalan ditempat ?, atau lebih parahnya lagi kualitas pendidikan kita saat ini menurun ?. Entahlah, yang pasti kita belum merasakan kualitas seluruh sumber daya manusia Indonesia saat ini mampu bersaing dengan bangsa-bangsa di Dunia ini.
Yang terjadi sekarang justru masih banyak rakyat miskin, tidak mempunyai keahlian, pengangguran dimana-mana. Apa yang salah dengan bangsa ini ?. Padahal sekarang sekolah sudah lebih banyak dari pada zaman kita belum merdeka.
Semoga saja pada peringatan hari Pendidikan Nasional tahun ini, dijadikan sebagai tonggak perubahan ke arah yang lebih baik, Menjadi bangsa yang pintar dan bermatabat, yang akan membawa kepada kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.